Mematuhi Hati Nurani

Kira-kira pertanyaannya seperti ini: Bagaimana kita tahu bahwa pilihan yang kita lakukan benar?
Sebenarnya, secara teori psikologi, ada banyak cara untuk menjawab hal ini akan tetapi tidak akan membumi. Mario Teguh lebih memiliki aplikasi praktis yang dekat dengan keseharian manusia Indonesia: kereligiusan.
Mario Teguh menjelaskan bahwa, dalam struktur tubuh manusia ada sebuah sistem yang disebut dengan hati nurani. Hati nurani selalu memberikan alarm terhadap sikap dan tindakan yang kita ambil. Hati nurani selalu berbicara, kapanpun kita akan membuat pilihan sikap dan perbuatan. Akan tetapi, hati nurani bisa berhenti bicara! Hati nurani bisa berhenti bicara bila kita selalu mengabaikannya. Karena itu, dalam akhir sesi Golden Ways Mario Teguh mengajak audiens untuk mematuhi hati nurani, dan lihat apa yang terjadi.
Saya teringat sebuah sesi kuliah sewaktu masih berstatus mahasiswa Psikologi Unair Surabaya. Dosen psikologi humanistik saya, melontarkan sebuah pertanyaan yang tidak pernah di jawabnya: Kapan manusia benar-benar bebas?
Seperti kita tahu, manusia selalu terikat dengan kehidupannya. Ketika bangun pagi, seorang Muslim yang taat memaksa dirinya bangkit dari ranjang yang hangat untuk berbasah dengan air dingin, berwudhu untuk sholat yang hanya 2 rakaat. Ini ikatan pertama yang terjadi begitu bangun. Setelah itu, ia harus sarapan untuk bergegas pergi mencari penghidupan, sebagai karyawan, polisi, penarik becak, sopir angkot, atau apapun itu. Selama di jalan dan di tempat kerja, serenceng aturan wajib dipatuhi bila tidak mau terkena sanksi. Bagi muslimin, ada lagi kewajiban shalat Dhuhur dan Ashar di sela-sela jam kerja. Seusai kerja, seorang eksekutif muda memaksakan diri ke gymnasium untuk mencairkan lemak, atau mungkin kongkow-kongkow dengan rekan bisnis, atau bagi yang lain mencari penghasilan tambahan, atau langsung pulang karena anak minta ditemani bikin pe-er.
Kehidupan terus berlangsung, hari demi hari, dan tanpa terasa sebenarnya manusia terikat dengan norma sosial serta berbagai peraturan hidup. Seolah-olah ada jalur koridor yang dibentengi dinding kokoh di kanan kiri yang memaksa manusia menjalani koridor tersebut hingga ujung. Setelah di ujung, apa yang kemudian terjadi?
Dari bertahun-tahun perenungan, mungkin saya menemukan jawabannya. Jawabannya hanya sebuah kata, namun itu bukan kata yang mudah: PILIHAN. Dalam jalur takdir dan nasib, ada banyak sekali persimpangan atau percabangan. Kita sering menemui persimpangan itu, namun jarang sekali merasakan adanya persimpangan dan percabangan tersebut.
Contoh: Ketika bangun pagi, orang dihadapkan pada pilihan mau shalat subuh atau tidak. Kalau tidak mau, mau terus tidur atau tidak. Kalau tidak, mau  … dst.
Mau nyampai kantor tepat waktu atau tidak. Kalau mau, naik taksi atau usaha nebeng teman. Kalau mau nebeng, si A atau bukan. Kalau mau nebeng si A, harus …. dst.
Mau terus kerja di kantor ini atau tidak. Kalau tidak, mau pindah kerja atau tidak. Kalau mau pindah kerja, ke perusahaan sejenis atau tidak. Kalau tidak … dst.
Lebih tajam lagi, sebenarnya manusia selalu HANYA dihadapkan pada 2 pilihan utama. Seorang teman menyangkal, katanya bisa saja orang punya 3 bahkan hingga 5 pilihan. Saya katakan, prioritas pada akal sehat kita dan hati nurani kita selalu menempatkan sebuah pilihan tertinggi. Prosesnya adalah: mau memilih opsi di prioritas pertama atau tidak? Kalau tidak, mau prioritas ke dua atau tidak? Demikian terus hingga menemukan jawaban. Di luar prioritas 1 dan 2, sebenarnya hanyalah alternatif yang dibuat oleh otak kita untuk menenangkan kecemasan.
Saat harus memilih, manusia memiliki kebebasan hakiki sebagai manusia. Di sinilah persimpangan penting yang menentukan ikatan seperti apa yang kemudian akan membelenggunya. Di sini pulalah hati nurani berbicara untuk menjaga langkah kita dari kesesatan. Apakah hati nurani tidak mungkin keliru? Hati nurani tidak terjadi seketika, karena pada dasarnya seluruh norma agama dan sosial kemasyarakatan tempat kita dibesarkan telah secara bersama-sama menjadi pondasi suara nurani yang kokoh.
Bahkan lebih jauh, asumsi saya yang masih perlu dibuktikan, hati nurani adalah qolbu yang merupakan bagian dari fitrah manusia. Karena dituntun sendiri oleh “The Ultimate Being” Allah Swt, hati nurani seharusnya tidak akan salah, kecuali manusia mengabaikannya demi sesuatu yang tidak hakiki:
QS. Al A’raaf 179 menyebutkan:
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami  dan mereka mempunyai mata  tidak dipergunakannya untuk melihat , dan mereka mempunyai telinga  tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.Mereka itulah orang-orang yang lalai.
Seorang atheis sekalipun bisa merasakan kebenaran hati nurani sekalipun dia tidak mengenal figur tuhan, karena nilai Illahiah yang diperkenalkan oleh Allah Swt bersifat universal. Seorang muslim adalah individu yang harus mengimani hal-hal gaib (Allah, rasulullah, malaikat, takdir, dsb), karenanya sudah sewajarnya bila kita lebih peka pada hati nurani yang berbicara.
Ketika hati nurani terus diabaikan dan akhirnya dia berhenti berbicara, sebenarnya apa yang terjadi?
Dengan indah Al-Qur’an mendeskripsikannya sebagai hati atau mata-hati yang terkunci, seperti dalam QS. Al Jatsiyaah 23:
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah . Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Mungkin pertanyaan dosen saya sekian tahun yang lalu sebenarnya memang tidak mempunyai jawaban, karena bagaimana pun manusia tidak akan terlepas dari kefitrahannya sebagai figur ciptaan Sang Maha Pencipta. Artinya, dalam kondisi harus membuat pilihan yang terbebas sekalipun, hati nurani yang membawa pesan moral religius serta norma-norma sosial yang universal tetap berusaha memagari. Manusia tidak akan pernah 100% menjadi individu yang bebas.
Jadi, saya sepakat dengan Mario Teguh, patuhilah suara hati nurani dan perhatikan apa yang terjadi.

0 komentar:

Posting Komentar